RADARSULSEL.CO.ID, MAKASSAR -- Pembangunan Jaringan Irigasi Daerah Irigasi (DI) Gilireng Kiri di Kabupaten Wajo yang melekat pada Balai Besar Wilayah Sungai Pompengan Jeneberang (BBWSPJ), diduga tidak memiliki dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Menurut Dian Resky Sevianti, Ketua Divisi Monitoring dan Evaluasi Lembaga Komunitas Anti Korupsi (L-KONTAK), Kepala BBWSPJ dan jajarannya diduga mengabaikan salah satu prosedur penting pada pekerjaan, sehingga setelah proyek berjalan baru dilakukan kajian AMDALnya.
"Tujuannya untuk mengetahui apa dampak terjadi pada suatu kegiatan atau usaha terhadap lingkungan hidup. Bagaimana bisa mereka (BBWSPJ -red) mengatakan dokumen AMDAL sudah ada, sementara warga banyak yang terdampak akibat kegiatan mereka," kata Eky, sapaan akrabnya, Minggu, (19/01/2025).
Sebelumnya jelas Eky, dirinya pernah dipertemukan dengan pihak BBWSPJ beserta perwakilan warga yang terkena dampak, terungkap dukumen perencanaan sementara dalam pengurusan, sehingga ia meminta Kepala BBWSPJ dan jajarannya harus bertanggungjawab atas dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan tersebut.
Padahal kata Eky sapaan akrabnya, menilai bahwa tujuan Pembangunan Jaringan Irigasi DI Gilireng Kiri dapat memberikan asas manfaat yang baik untuk masyarakat, namun bukan sebaliknya justru merugikan.
"Kami pernah dipertemukan dengan pihak BBWSPJ bersama perwakilan warga yang terdampak, ternyata dalam pertemuan itu, terungkap jika dokumen perencanaan sementara dalam pengurusan, dan warga dijanjikan untuk diselesaikan bulan Desember tahun 2024," katanya.
Penjelasan pihak BBWSPJ saat pertemuan itu jelas meyakinkan L-KONTAK, jika proyek tersebut tidak memiliki Study Kajian atau Feasibility Study (FS).
"Sangat di sayangkan jika proyek sebesar itu tidak memiliki dokumen seperti AMDAL, Mestinya Dokumen tersebut menjadi acuan untuk melakukan riset dan penelitian sebelum pembangunan dilakukan, tapi yang terjadi justru sebaliknya, pembangunan lebih dahulu lalu kemudian AMDAL nya, ini kan lucu,". jelasnya.
Eky menilai tindakan BBWSPJ yang melakukan pembangunan infrastruktur yang diduga tanpa studi kelayakan atau feasibility study telah merugikan masyarakat yang terdampak.
"Setelah rampung kajiannya, secepatnya kami teruskan ke Kejaksaan Agung, siapapun yang terlibat, harus bertanggung jawab. Semua proyek infrastruktur pasti menggunakan Feasibility Study (FS) dan Detailed Engineering Design (DED) sebagai pedoman pembangunan. Nah, bila tidak ada FS dan DED, maka tidak mungkin kontraktor dapat melakukan pembangunan,". Tegas Eky.
Untuk di ketahui Terkait Feasibility Study (FS), diatur dalam Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 4 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur. Dia menilai, Kepala BBWSPJ jajarannya telah mengabaikan UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta UUD 1945. (Tim/SUKRI).
Editor : ENAL RASUL.